LONDON – Suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral di seluruh dunia saat ini pada umumnya terlalu rendah. Apabila tren tersebut terus berlanjut, kondisi ini dikhawatirkan dapat berisiko mengancam stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Bank for International Settlements (BIS) menyatakan pertumbuhan ekonomi global saat ini masih timpang. Sejumlah negara kini menghadapi pembengkakan utang. Bahkan, ledakan pertumbuhan kredit sejumlah negara kembali muncul. Situasi ini semakin mengindikasikan disparitas kondisi keuangan di dunia.
“Faktor utama penggerak bunga acuan di level rendah adalah krisis keuangan global pada 2007-2008 dan deflasi akibat dampak penurunan harga minyak mentah global,” menurut BIS dalam laporan resminya di London, Inggris, Minggu (28/6).
Namun, kebijakan mempertahankan bunga acuan di level ultra rendah, seperti dilakukan bank sentral Amerika Serikat (The Fed), berisiko memicu kerusakan serius pada sistem keuangan dan menimbulkan volatilitas di pasar keuangan. Bahkan kondisi semakin diperparah dengan keterbatasan upaya antisipasi pemerintah terhadap perkiraan risiko resesi ke depan.
“Aksi spekulasi (risk-taking) di pasar keuangan telah hilang lama sekali. Penilangan soal pasar akan tetap likuid di bawah tekanan telah semaikin mengakar,” ungkap BIS dalam laporan tahunan ke-85. “Potensi terjadinya turbulensi akan terus meningkat ke depan apabila kondisi luar biasa seperti saat ini tak segera hilang.”
BIS mencatat kurang dari 29 bank sentral di dunia saat ini telah mengendurkan kebijakan moneternya, termasuk ketetapan bunga acuan di level rendah. Pelonggaran ini, menurut BIS, dimaksudkan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi masing-masing negara dan mengantisipasi deflasi.
Injeksi Likuiditas
Selain pelonggaran bunga acuan, sejumlah negara bahkan melakukan injeksi likuditas melalui skema pelonggaran kuantitatif (QE), termasuk bank sentral Eropa (ECB), bank sentral Jepang (BoJ) dan bank sentral Tiongkok (PBoC). Di saat The Fed mengakhriri QE tahun lalu, ECB justru meluncurkan program injeksi likuiditas pada Maret lalu dan akan berakhir hingga September tahun depan.
“(Karenanya), kenaikan bunga acuan The Fed untuk pertama kalinya dalam kurun hampir sepuluh tahun terakhir akan menandai pembalikan kebijakan moneter global menjadi ketat,” menurut Kepala Departemen Moneter dan Ekonomi BIS Claudio Borio.
Proses normalisasi kebijakan bunga acuan diperkirakan akan berlangsung secara tidak bersamaan. Hal ini karena bunga acuan rendah telah memicu krisis di negara yang selama ini pertumbuhannya bergantung pada utang luar negeri.
“Sejumlah bank sentral telah terbebani upaya pemulihan pasca krisis (keuangan global) selama jangka waktu lama,” menurut BIS. “Saat ini, kebijakan dalam jangka panjang untuk memastikan stabilitas ekonomi dan sistem keuangan global harus disiapkan.” mad/Rtr/E-10